
“Katakanlah konservatif 10 persen, katakanlah untuk bangsa Indonesia cukup 5 persen. Aset yang dimiliki bangsa Indonesia yang berada di BUMN-BUMN, kita asetnya adalah senilai lebih dari 1.000 miliar dolar AS. Harusnya BUMN itu menyumbang kepada kita minimal 50 miliar dolar AS. Kalau 50 miliar dolar AS, APBN kita tidak defisit,” urai Prabowo.
Tumpang Tindih Bisnis
Sementara itu, Danantara mengungkap, hanya 8 perusahaan BUMN yang memberikan kontribusi signifikan bagi fiskal negara, selebihnya merugi. Danantara telah menyiapkan langkah-langkah strategis untuk membenahi perusahaan di BUMN yang saat ini berjumlah sekitar 1.046 perusahaan. Langkah pertama, melakukan business fundamental reviews. Kedua, melakukan konsolidasi bisnis (merger). Ketiga, spin-off. Kemudian keempat, membentuk 228 perusahaan BUMN dari 1.046 perusahaan.
“Sebanyak 228 ini diharapkan menjadi perusahaan skalabel, mampu berkompetisi, memiliki bisnis model dan revenue stream yang proper, dan dikelola secara transparan,” kata Chief Operating Officer (COO) Danantara Indonesia, Dony Oskaria,seperti dikutip dalam program Special Talkshow CNBC Indonesia yang dipandu CEO dan Founder CT Corp, Chairul Tanjung.
Merespon kontribusi profit dari 8 perusahaan BUMN, Anggawira berpandangan, kondisi ini mencerminkan adanya persoalan struktural dan fokus bisnis. Menurutnya, banyak BUMN anak-cucu yang justru tumpang tindih bisnisnya, kurang fokus pada core business, dan akhirnya membebani keuangan.
“HIPMI melihat perlu ada strategi besar untuk mengonsolidasikan BUMN agar benar-benar menjadi value creator, bukan cost center. Kuncinya ada pada fokus: jika bisnis tidak relevan atau tidak berprospek, lebih baik dialihkan atau ditutup,” urainya.
Ketua Umum Asosiasi Pemasok Energi, Mineral, dan Batubara Indonesia (Aspebindo) tersebut menyatakan, penyederhanaan jumlah BUMN dari 1.046 menjadi 228 melalui Danantara adalah langkah berani.
“HIPMI menilai ini bisa menjadi solusi untuk mengurangi inefisiensi, duplikasi usaha, dan beban manajemen yang terlalu kompleks. Namun merger saja tidak cukup, harus dibarengi dengan penajaman model bisnis, transparansi, serta memastikan setiap BUMN punya target kinerja yang jelas. Jika tidak, merger hanya akan bersifat kosmetik,” tegasnya.