
Kedua, proses penyiapan makanan dilakukan di lantai, tanpa alat penangkal serangga, dan dengan jeda waktu distribusi yang terlalu panjang.
Ketiga, tidak tersedia data publik mengenai vendor MBG, hasil audit dapur, atau uji laboratorium makanan. Bahkan ada dugaan 5.000 dapur adalah fiktif.
Keempat, mekanisme pelaporan insiden dan pemulihan korban tidak terstruktur, tidak inklusif, dan tidak melibatkan komunitas sekolah.
“Yang lebih memprihatinkan adalah pelanggaran Hak Konsumen Anak, karena hal ini menyangkut keamanan dan keselamatan,” ucapnya.
Menurutnya, anak-anak sebagai konsumen rentan tidak mendapatkan perlindungan atas hak dasar, yaitu keamanan, informasi, dan kompensasi. Selain itu tidak ada skema ganti rugi atau dukungan psikososial bagi korban dan keluarga mereka.
Oleh sebab itu, FKBI meminta pemerintah dan BGN, untuk melakukan beberapa hal. Pertama, dilakukan audit publik dan publikasi vendor MBG.
“FKBI meminta agar seluruh penyedia makanan MBG diaudit secara independen dan hasilnya dipublikasikan secara terbuka,” tegasnya.
Kedua, skema ganti rugi dan pemulihan korban. Pemerintah wajib menyediakan kompensasi medis, psikologis, dan hukum bagi siswa terdampak dan keluarganya.
Ketiga, reformasi tata kelola program MBG. Langkah ini, harus melibatkan komunitas sekolah, organisasi orang tua, dan lembaga perlindungan anak dalam pengawasan partisipatif.
Keempat, menerapkan sistem pelaporan berbasis komunitas dan early warning system untuk deteksi dini dan respons cepat.
Kelima, penyusunan SOP terbuka dan partisipatif evaluasi model distribusi. Pertimbangkan opsi desentralisasi penyediaan makanan melalui kantin sekolah atau pemberian dana langsung kepada orang tua. (FA)