“Ini artinya skor IKK tidak sejalan dengan skor indeks literasi digital. Tingginya pengaduan konsumen di seputar komoditas digital membuktikan indeks literasi digital masyarakat Indonesia, sebagai konsumen, memang masih belum baik,” pungkasnya.
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) melanjutkan, sementara dari sisi ekonomi, potret keberdayaan ekonomi konsumen Indonesia juga sedang melemah (“kritis”) yakni ditandai dengan menurunnya daya beli (purchasing power) masyarakat. Pertumbuhan ekonomi 2024 melemah seiring dengan menurunnya kelas menengah Indonesia. Hal ini juga ditandai dengan tingginya angka PHK, yang menurut data telah mencapai lebih dari 83 ribuan.
Tulus kemudian menyampaikan data yang dihimpun Bidang Pengaduan YLKI. Tercatat, pada 2024 karakter dan jenis pengaduan di YLKI masih digelayuti oleh tingginya pengaduan perihal jasa keuangan, terkhusus soal pinjaman online.
Kondisi ini terlihat makin parah, karena berkelindan dengan fenomena judi online (judol). Keberadaan pinjol dan judol secara empirik tak bisa dipisahkan. Pinjam uang ke pinjol untuk praktik judol, atau menjadi korban judol, lalu larinya ke pinjol. Mirip lingkaran setan.
“Tragisnya, instrumen penegak hukum negara seperti tak berdaya. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai lembaga pengawas dan pelindung konsumen sektor jasa keuangan seperti mengalami lumpuh layuh,” ucap Tulus
Dalam hal melindungi konsumen agar tak menjadi korban “pinjal pinjol”, OJK hanya mampu mengubah istilah pinjol menjadi “pindar”, alias pinjaman daring. Sebuah upaya yang tak akan efektif mengubah jeratan konsumen menjadi korban pinjol.