Reformasi perpajakan masih berlanjut dengan dilakukannya Reformasi Perpajakan Jilid III yang berfokus pada pembenahan lima pilar yaitu organisasi, sumber daya manusia, teknologi informasi dan basis data, proses bisnis, dan peraturan perundang-undangan. Reformasi perpajakan tak bisa terlepas dari sistem administrasi perpajakan yang digunakan oleh wajib pajak dan fiskus.
Pengembangan sistem administrasi perpajakan secara digital diawali dengan penerapan e-filing untuk pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) wajib pajak, e-faktur untuk administrasi faktur pajak, dan pelaporan SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai (PPN), serta e–billing sebagai kanal pembayaran pajak.
“Sistem administrasi yang baik, cepat, dan mudah akan bermuara pada peningkatan kepatuhan pajak, khususnya kepatuhan pajak sukarela (voluntary tax compliance). Pasalnya, biaya kepatuhan (compliance cost) dapat ditekan serendah mungkin,” tulis Ardian.
Namun, ungkapnya, sistem administrasi digital yang berjalan saat ini masih dapat dikembangkan jauh lebih baik lagi, terutama dalam hal integrasi dan kualitas data. Kewajiban perpajakan masih dijalankan melalui berbagai kanal yang terpisah, seperti e-filing, e-faktur, dan e-registration.
Menurut mengemukakan, untuk menjalankan reformasi perpajakan dalam hal layanan administrasi perpajakan, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) meluncurkan suatu sistem aplikasi canggih dan terintegrasi yang dinamakan dengan Coretax atau Sistem Inti Administrasi Perpajakan. Dengan adanya sistem ini, diharapkan pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan dapat dijalankan dengan lebih baik dan mudah baik bagi wajib pajak dan juga petugas pajak.
Ia menyebutkan bahwa Coretax akan diimplementasi pada awal tahun 2025.
Persiapan Implementasi Coretax
Ardian lantas menjabarkan persiapan wajib pajak sebelum implementasi Coretax. Pertama, terkait pemutakhiran data.
Menurutnya, salah satu langkah utama yang perlu dilakukan oleh wajib pajak adalah melakukan pemutakhiran data pajak secara lengkap dan akurat. Dalam rangka mendukung implementasi Coretax, DJP akan memastikan bahwa data wajib pajak yang ada di sistemnya selalu terbarui.
“Oleh karena itu, wajib pajak perlu memastikan bahwa informasi yang tercatat dalam sistem pajak sudah sesuai dengan kondisi aktual. Hal ini meliputi pembaruan data identitas wajib pajak, alamat, jenis usaha, nomor telepon, alamat surat elektronik, serta informasi perpajakan lainnya yang relevan,” terangnya.
Ardian menekankan, pemutakhiran data pajak sangat penting, karena Coretax akan berfungsi dengan lebih efektif jika data yang digunakan akurat dan valid. Untuk itu, wajib pajak dapat melakukan pembaruan data melalui layanan yang disediakan oleh DJP di DJP Online atau melalui Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Mengingat bahwa data yang tidak akurat atau tidak lengkap dapat memengaruhi kewajiban perpajakan dan potensi penyelesaian sengketa, pemutakhiran data adalah langkah awal yang krusial.
Kedua, terkait simulator Coretax. Dijelaskan, guna mempersiapkan diri untuk menghadapi perubahan besar ini, DJP telah menyediakan fasilitas uji coba simulator Coretax. Simulator ini memberikan kesempatan bagi wajib pajak untuk mencoba sistem baru yang akan digunakan pada 2025 sebelum sistem tersebut diberlakukan secara penuh. Dengan mengakses simulator ini, wajib pajak dapat mempelajari bagaimana sistem Coretax akan bekerja, mulai dari pelaporan pajak, pembayaran, hingga pemantauan status pajak secara real time.