Asep menyatakan, salah satu faktor kunci adalah dukungan regulasi dalam pengelolaan wilayah kerja hulu migas. Regulasi tersebut dapat mendorong pengembangan CBM seperti penawaran skema gross split yang juga dapat memberikan fleksibilitas pada proyek nonkonvensional.
“Upaya ini menunjukkan keseriusan pemerintah dalam mendorong CBM menjadi bagian dari energi domestik dan mendukung transisi energi berbasis gas,” katanya.
Selain itu, kata dia, pengembangan CBM ke depan juga harus diintegrasikan dengan kebijakan energi nasional yang lebih luas, termasuk pengelolaan cadangan gas untuk pembangkit lokal, industri, dan sektor transportasi.
Langkah bersejarah terjadi ketika SKK Migas berhasil menyalurkan CBM ke jaringan distribusi nasional melalui PGN.
Peristiwa ini menandai perubahan signifikan: CBM tidak lagi hanya potensi, tetapi mulai dimanfaatkan secara nyata. Pemanfaatan ini membuka banyak peluang, antara lain:
“Penyediaan energi gas yang lebih bersih bagi industri lokal penambahan pasokan gas domestik tanpa bergantung pada impor.
Peluang dan Tantangan CBM
Asep menyebutkan, dalam konteks hilirisasi batubara dan transisi energi, CBM menawarkan sejumlah manfaat strategis, antara lain:
“Selain itu, CBM memiliki potensi untuk menghidupkan ekonomi lokal, menciptakan lapangan kerja baru, dan mengoptimalkan sumber daya alam yang sebelumnya terabaikan,” terang Asep.
Asep mengungkapkan, meski menjanjikan, pengembangan CBM ke depan menghadapi tantangan signifikan khususnya pengelolaan lingkungan, terutama terkait pengolahan air hasil dewatering dan mitigasi dampak tambang.
Selain itu, regulasi perlu penyesuaian agar lebih menarik lagi bagi para investor melalui perbaikan aturan teknis, fiskal, mekanisme kontraktual yang fleksibel dan sesuai untuk pengembangan migas non konvensional. (Rif)