Oleh: Tulus Abadi
HINGGA akhir 2025, Pemerintah Indonesia menggelontorkan dana bantuan sosial (bansos) sebesar Rp 110,72 triliun, yang diterimakan pada 35 jutaan orang penerima bansos.
Terkait dana bansos ini, Menteri Sosial (Mensos), Syaifullah Yusuf atau Gus Ipul, mewanti-wanti, agar dana bansos tidak disalahgunakan oleh masyarakat penerima bansos. Mensos melarang keras dana bansos digunakan untuk judi online (judol), beli rokok, minuman keras (miras), dan untuk membayar utang.
Larangan Mensos tersebut secara moral adalah bagus, agar dana bansos bermanfaat. Mengingat penerima dana bansos adalah kelompok menengah bawah. Sangat ironis, jika dana bansos tersebut justru digunakan untuk bermain judol, miras, merokok, dan bahkan untuk membayar utang.
Namun tampaknya secara sosiologis larangan/imbauan Mensos itu sulit dipatuhi oleh masyarakat penerima bansos. Minimal ada dua alasan.
Pertama, belum ada mekanisme kontrol atau pengawasan yang ketat oleh pemerintah agar dana bansos itu tidak disalahgunakan oleh masyarakat penerima bansos. Bahkan belum ada instrumen hukum dan kebijakan untuk pengawasan di lapangan. Jadi larangan hanya berdimensi imbauan moral saja.
Kedua, terkait poin pertama, secara sosiologis tantangannya sangat besar. Sebab, saat ini menurut data tidak kurang dari 650 ribu orang penerima dana bansos menyalahgunakan dana bansos untuk bermain judol. Di Jakarta, kisaran 5.000 orang menyalahgunakan dana bansos untuk main judol. Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung berjanji untuk memberikan sanksi bagi yang melanggar, ini hal yang positif juga.
Nah, yang makin besar tantangannya adalah larangan dana bansos untuk membeli rokok. Sebab, lebih dari 32 persen (sekitar 70 juta) orang Indonesia adalah perokok aktif, dan itu rata rata justru berasal dari rumah tangga menengah bawah. Bahkan menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), rumah tangga miskin mengalokasikan pendapatannya untuk membeli rokok, kisaran 10-11 persen per bulannya. Jadi merujuk pada data tersebut, bisa dipastikan sebagian dana bansos adalah untuk membeli rokok.
Oleh sebab itu, sebaiknya Mensos Gus Ipul tidak hanya melarang/memberikan imbauan saja, tetapi ada tindakan dan kebijakan konkrit yang sinergis. Toh hal tersebut juga sudah disuarakan oleh Mensos Tri Rismaharini, pada 2021 lalu. Untuk mitigasi hal ini, Mensos Gus Ipul harus bersinergi dengan Menteri Komunikasi dan Digital (Komdigi), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Polri, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), misalnya untuk melakukan takedown secara masif terhadap aplikasi judol, yang mayoritas korbannya memang masyarakat menengah bawah, bahkan anak anak dan remaja.
Sedangkan untuk fenomena merokok di rumah tangga miskin, harus disisir dari hulu, misalnya implementasikan larangan penjualan rokok secara ketengan/batangan, plus harga rokok harus dimahalkan. Dan terkait larangan menjual rokok secara ketengan sudah diatur dengan gamblang di dalam PP 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan.
Kebijakan pengendalian dari sisi hulu tersebut akan lebih efektif, sehingga dana bansos tidak menjadi bancakan bandar judi online, atau juga mengalir pada taipan industri rokok. Dan dana bansos akan lebih efektif untuk mendulang kebermanfaatan bagi masyarakat menengah bawah dan atau untuk menggerus prevalensi kemiskinan masyarakat, yang saat ini mencapai 8,5 persen dari total populasi (24,7 juta). (Penulis adalah Pegiat Perlindungan Konsumen, Ketua Forum Konsumen Berdaya Indonesia (FKBI)).