
Jakarta,corebusiness.co.id-Transaksi bijih nikel di Indonesia didasarkan pada Harga Patokan Mineral (HPM) yang ditetapkan pemerintah.
Penentuan HPM berasal dari rata-rata harga spot nikel London Metal Exchage (LME) selama 20 hari perdagangan terakhir dan disesuaikan setiap dua minggu.
Namun, bijih nikel di pasar saat ini, khususnya bijih berkadar tinggi (bijih laterit) kadar nikel 1,5 persen ke atas, umumnya dikenakan biaya tambahan di atas harga patokan, yang disebut “premium”.
Keberadaan premium ini terutama berasal dari kebijakan royalti bijih yang ketat di Indonesia dan kenaikan biaya terkait. Sementara penerapan Sistem Informasi Mineral dan Batubara (Simbara) secara efektif membatasi perdagangan bijih ilegal.
Secara keseluruhan, faktor-faktor ini mengurangi pasokan bijih yang dapat diperdagangkan di pasar dan membatasi pasokan di tengah peningkatan jumlah smelter yang terus berlanjut. Akibatnya, mekanisme “premium” diperkenalkan untuk mengurangi ketidaksesuaian pasokan dan permintaan serta memastikan bahwa smelter dapat memperoleh pengadaan bijih yang stabil dari perusahaan pertambangan
Menurut data Shanghai Metal Market (SMM), kisaran transaksi premium utama adalah $24–$26 wet metric ton (wm), mencakup sebagian besar transaksi pasar. Pada kuartal sebelumnya, kenaikan premium terutama didorong oleh kenaikan royalti sebesar 14 persen. Namun, memasuki kuartal II, premium turun rata-rata sekitar $2 pada Juli, dan tetap stabil hingga September. Alasan dan analisis di balik ini adalah sebagai berikut:
Kondisi Cuaca
Meskipun musim hujan di Indonesia berlangsung dari awal Januari hingga Juli, kondisi cuaca keseluruhan pada kuartal III membaik dibandingkan kuartal sebelumnya, dengan beberapa area di Sulawesi dan Halmahera mengalami kondisi yang lebih baik, meskipun terdapat curah hujan yang sporadis.