Jakarta,corebusiness.co.id– Tony Blair Institute for Global Change telah menggelar dua sesi tematik di Indonesia International Sustainability Forum (ISF) 2024 yang berfokus pada isu transisi energi berkeadilan dan teknologi kecerdasan artifisial (AI) yang hijau 5 September 2024 pada gelaran ISF 2024 di Jakarta Convention Center.
TBI adalah salah satu mitra pengetahuan atau knowledge partner di perhelatan ISF 2024 yang dihadiri lebih dari 7.000 peserta dari 53 negara. Perhelatan ISF merupakan pertemuan iklim terbesar kedua di kawasan Asia-Pasifik setelah, COP29 yang akan diselenggarakan di Azerbaijan November ini.
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Azwar Anas dalam sambutannya menekankan komitmen Indonesia terhadap penurunan emisi karbon, dan untuk itu transformasi antar kementerian dan lembaga pemerintahan akan memainkan peranan penting.
“Transformasi digital bukan hanya untuk efisiensi semata, namun juga untuk kepentingan keberlanjutan. Dengan birokrasi yang semakin efisien dan transparan, kita tidak hanya dapat menarik lebih banyak investasi, namun juga membangun tata kelola yang lebih baik di masa depan,” ujar Menteri Azwar Anas.
Keterlibatan komunitas lokal, serta akses pendaan dan teknologi adalah kunci atasi risiko transisi energi
Dalam sesi “Powering Progress: Global Unity for Just Energy Transition”, para pakar sepakat bahwa transisi energi membuka peluang lapangan pekerjaan yang signifikan di sektor hijau. Namun, tantangan terbesar berada pada akselerasi perwujudan lapangan pekerjaan baru di sektor hijau, serta perlindungan bagi kelompok-kelompok rentan yang terdampak pada transformasi ekonomi hijau.
Sesi tematik ini menghadirkan pembicara Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Dr. Vivi Yulaswati, MSc; Direktur Pembangunan Kedutaan Besar Inggris di Indonesia, Amanda McLoughlin OBE; Direktur Regional Asia Tenggara dari Rocky Mountain Institute (RMI), Wini Rizkiningayu; dan Direktur TBI untuk Indonesia, Shuhaela Haqim, dengan moderator Tomi Soetjipto, Manajer Senior TBI Indonesia.
“Bagaimana kita bisa menghadirkan transformasi (energi) yang efektif, jawabannya adalah inkusivitas. Kita harus melibatkan seluruh pemangku kepentingan, termasuk komunikas lokal, industri dan pengambil kebijakan. Transformasi dengan skala sebesar ini tidak bisa sukses jika dijalankan secara terisolasi,” ujar Direktur TBI untuk Indonesia, Shuhaela Haqim.
Dr Vivi Sulaswati mengatakan pertumbuhan hijau harus melindungi nasib jutaan rakyat Indonesia yang mata pencaharian nya masih bergantung terhadap industri bahan bakar fosil.
“Menyeimbangkan manfaat pertumbuhan dengan risiko yang terkait dengan transformasi ekonomi hijau merupakan tantangan yang harus kita hadapi. Di satu sisi, ekonomi hijau menjanjikan peluang yang sangat besar. Di sisi lain, kita harus menghadapi kenyataan pahit bahwa jutaan pekerja, khususnya di industri ekstraktif, dapat kehilangan pekerjaan saat kita beralih ke praktik yang lebih ramah lingkungan,” kata Vivi.
Development Director Indonesia/Minister-Counsellor Development UKMis ASEAN, FCDO, Amanda McLoughlin mengangkat pentingnya akses pendanaan dan teknologi bagi Indonesia dan negara-negara berkembang untuk mencapai transisi energi berkeadilan.
“Pendanaan harus bisa membantu komunitas dan pelaku industri beradaptasi terhadap perubahan iklim, serta (pendanaan) harus didistribusikan secara adil dan efisien bagi yang membutuhkan,” ungkapnya
Selain itu Amanda juga menekankan komitmen Britania Raya terhadap kemitraan global, sehingga negara berkembang, termaksud Indonesia dapat mengakses teknologi terbaru dan mutakhir untuk mendorong pertumbuhan berkelanjutan
Direktur Regional Asia Tenggara dari Rocky Mountain Institute (RMI), Wini Rizkiningayu, mengingatkan pentingnya mekanisme pasar yang dapat mendukung transisi energi.
Inti dari transisi ini adalah mekanisme pasar—penawaran dan permintaan, preferensi pelanggan, dan persaingan. Kita harus memanfaatkan variabel-variabel ini agar transisi energi dapat berjalan baik bagi semua orang. Namun, kenyataan yang sulit adalah bahwa proyek-proyek hijau sering kali tidak sejalan dengan kepentingan sektor swasta. Faktanya, proyek-proyek ini tidak hanya memerlukan solusi yang digerakkan oleh pasar tetapi juga intervensi dan dukungan pemerintah.
Transformasi Digital adalah Keniscayaan, Pakar Tekankan Pentingnya Mendorong Pengembangan dan Pemanfaatan Teknologi AI yang Berkelanjutan.
Dalam sesi tematik kedua mengenai teknologi AI hijau, TBI mengajak para pakar untuk mengulas tren pertumbuhan teknologi kecerdasan buatan (Artifical Intelligence atau AI) dalam konteks keberlanjutan dan transisi energi. Dengan semakin meluasnya penggunaan AI, konsumsi energi dan jejak karbon infrastruktur AI pun kini menjadi sorotan.
Sesi tematik kedua ini menghadirkan Kepala Pusat Kecerdasan Buatan Institut Teknologi Bandung, Dr.Eng. Ayu Purwarianti ST, MT; Sheilla Njoto, PhD, Strategic Lead dari Nation Insight; dan Manajer Senior TBI Indonesia, Willy Limiady; PIC of Big Data, Artificial Intelligence, Blockchain and SPPT-TI Development Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) Evan Nathanael Bangun Mulia; dengan dimoderatori Advisor TBI Indonesia, Pandu Putra.
Kepala Pusat Kecerdasan Buatan Institut Teknologi Bandung, Dr.Eng. Ayu Purwarianti ST, MT mengatakan bahwa salah satu hal yang patut menjadi perhatian dalam hubungan AI dan keberlanjutan adalah tantangan peningkatan permintaan energi.
Menjawab komentar tersebut, Manajer Senior TBI, Willy Limiady mengatakan pusat data perlu mematuhi standar yang meminimalkan dampak lingkungannya, termasuk perencanaan yang cermat mengenai cara memperoleh daya, lokasi, dan cara memanfaatkan daya pemrosesan untuk memaksimalkan efisiensi kerja.
“Selain regulasi, kita juga harus memperkenalkan skema insentif untuk sektor swasta. Insentif ini dapat membantu bisnis mengadopsi praktik yang lebih ramah lingkungan tanpa merasa terbebani oleh regulasi yang berlebihan. Penting untuk mencapai keseimbangan di sini kita tidak ingin mengatur secara berlebihan atau membuat kebijakan yang sangat ketat sehingga menghambat inovasi,” kata Willy.
Pada sesi ini, Sheila Njoto,Phd mengingatkan semua pihak untuk bisa mengembalikan tujuan utama dari pengembangan teknologi AI.
“Kita tidak boleh melupakan alasan utama kita mengembangkan AI sejak awal: untuk memberi manfaat bagi manusia. Sayangnya, banyak perbincangan seputar AI, terutama dampaknya terhadap manusia di negara seperti Indonesia, belum ditangani secara memadai,” kata Sheila Njoto.
Fasilitasi sesi tematik oleh TBI menjadi wujud komitmen organisasi terhadap transisi energi yang berkeadilan, khususnya di era transformasi digital dan teknologi AI.
“Kami dari TBI sangat senang dapat memfasilitasi diskusi terbuka mengenai tantangan, kekhawatiran, dan solusi untuk mencapai transisi energi berkelanjutan, termasuk praktik-praktik terbaik dalam kolaborasi energi yang adil,” ujar Direktur TBI untuk Indonesia, Shuhaela Haqim.
Shuhaela menambahkan, memanfaatkan sumber daya energi terbarukan yang melimpah di Indonesia, termasuk material penting untuk teknologi transisi energi, dapat meningkatkan daya saing Indonesia sebagai pusat teknologi energi terbarukan melalui penelitian, inovasi, manufaktur, dan penerapan teknologi yang merata.(Oby).